Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia
Syariah_ekonomiPenduduk Indonesia
yang mayoritas beragama Islam nampaknya belum begitu familiar dengan
ekonomi syariah, oleh karena itu pemerintah kini sedang gencar-gencarnya
menyerukan tentang ekonomi syariah salah satunya yaitu asuransi syariah
yang kini digalakkan. Padahal, sebenarnya ekonomi syariah lebih pro
ekonomi riil. Hal ini tentunya, sangat bermanfaat khususnya bagi UKM
yang sangat membutuhkan kepastian hukum dan tentunya bantuan modal. Hal
ini terbukti bahwa penerapan ekonomi syariah lebih handal ketimbang
ekonomi konvensional pada krisis moneter tahun 2007 lalu. Bank dengan
ekonomi syariah terbukti mampu tetap kokoh berdiri ditengah krisis. Hal
ini bisa terjadi karena prinsip ekonomi syariah yang mengharamkan Riba,
Judi, Dholim (aniaya), Gharar (penipuan), Barang Haram, Maksiat, Risywah
(suap) dan prinsip bagi hasil terbukti lebih menguntungkan. Produk lain
dari ekonomi syariah adalah reksadana syariah dan obligasi koorporasi
syariah yang baru diperkenalkan.
Hukum ekonomi syariah sebagai
bagian dari hukum atau syariah Islam yang berkembang di berbagai bagian
dunia, termasuk di Indonesia, merupakan penggabungan antara hukum
ekonomi konvensional yang telah melalui transformasi proses Islamisasi
hukum oleh para ahli ekonomi Islam ditambah dengan fiqh mu'amalat
konvensional yang berakar panjang dalam sejarah Islam. Tidak
mengherankan bila bidang ini masih merupakan suatu yang baru bagi
negara-negara berpenduduk muslim, terutama, karena minimnya peraturan
perundang-undangan negara yang mendukung dan praktek peradilan.
Hukum materil ekonomi syariah di Indonesia pada umumnya baru tersedia
dalam bentuk fiqh para fuqaha' atau fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia (DSN MUI) secara khusus, yang sebagiannya telah menjadi
Peraturan Bank Indonesia melalui upaya positivisasi fatwa. Mengisi
kekosongan perudang-undangan dalam bidang ini bagi kepentingan
penyelesaian sengketa di pengadilan, maka Mahkamah Agung RI telah
menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah (KHES). KHES terdiri dari 4 Buku, masing-masing
tentang Subyek Hukum dan Amwal, Akad, Zakat dan Hibah, dan Akutansi
Syariah. Diharapkan pemerintah dan DPR RI dapat mengambil inisiatif di
masa depan untuk mengembangkan KHES menjadi Kitab Undang-Undang Ekonomi
Syariah melalui produk perundang-undangan.
Langkah lain yang perlu
juga diambil di masa depan adalah mendirikan Lembaga Fatwa Negara dengan
meningkatkan status DSN/Mejelis Fatwa MUI menjadi Lembaga Fatwa Negara
berdasarkan undang-undang dengan kedudukan sejajar, misalnya, dengan
Kantor Mufti di negara tetangga Malaysia, bahwa bila fatwa yang
diterbitkannya disiarkan dalam lembaran negara maka mempunyai kekuatan
yang sama dengan undang-undang.
Dalam bidang ekonomi syariah juga
telah terbit perundang-undangan tentang Perbankan Syariah dan Surat
Berharga Syariah Negara yang mengisyaratkan hukum atau syariat Islam
sebagai hukum materil ekonomi syariah. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
Tentang Surat Berharga Syariah Negara menyatakan bahwa: "Surat Berharga
Syariah Negara selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk
Negara, adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan
prinsip syariah, sebagai alat bukti bagian penyertaan terhadap Aset
SBSN, baik dalam mata uang rupiah, maupun valuta asing."
Sementara
itu, Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Perbankan Syariah menjelaskan bahwa:
"Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank
Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha,
serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya." Pasal 2
menjelaskan bahwa "Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya
berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip
kehati-hatian."
Pasal 1 ayat (12) menjelaskan: "Prinsip Syariah
adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa
yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan
fatwa di bidang syariah."
Pasal 26 ayat (1), (2) dan (3) menyatakan:
"(1) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, dan
Pasal 21 dan/atau produk dan jasa syariah, wajib tunduk kepada Prinsip
Syariah. (2) Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia. (3) Fatwa sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dituangkan. dalam Peraturan Bank Indonesia."
Pasal 4
ayat (2) menyatakan bahwa "Bank Syariah atau UUS dapat menjalankan
fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang
berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah atau dana sosial lainnya dan
menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat."
Pasal 4 ayat (3)
menyatakan bahwa: "Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial
yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf
(nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif)."
Keterbatasan perundang-undangan dalam bidang ekonomi syariah sebenarnya
tidak menjadi hambatan bagi para hakim dalam memutus sengketa yang
diajukan ke pengadilan. Seperti terlihat di atas, baik fatwa yang sudah
dipostivisasi oleh Bank Indonesia maupun peraturan perundang-undangan
ekonomi syariah yang tersedia merujuk dan meresepsi hukum atau syariat
Islam. Syariat Islam sebagai fiqh para fuqaha' bersumber dari Qur'an,
Sunnah, Ijma', Qiyas atau ijtihad secara umum. Para hakim dapat
mengeksplorasi sumber yang amat luas ini dengan melakukan tarjih dari
pendapat-pendapat yang ada atau melakukan istinbath dan ijtihad dalam
batas kemampuan yang ada. Putusan hakim seperti ini dalam masa yang
panjang akan menjadi yurisprudensi pengadilan sebagai hukum Islam
berciri Indonesia di masa depan sebagai judge made law (hukum yang
dibuat oleh hakim).
Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia
akhir-akhir ini menunjukkan hukum atau syariat Islam sebagai hukum yang
hidup di negeri ini dengan didukung oleh masyarakat melalui para pelaku
ekonomi, lembaga-lembaga keuangan, pendidikan, keulamaan, peradilan dan
penyelesaian sengketa alternatif dan lain-lain. Gejala ini juga
menunjukkan penyerapan lembaga-lembaga masyarakat terhadap syariat Islam
sebagai tuntunan hukum mereka, walaupun peraturan perundang-undangan
dalam bidang ekonomi syariat masih sangat terbatas dan di pihak lain
meunjukkan kelambanan legislator Indonesia dalam mengantisipasi
keinginan dan kebutuhan masyarakat.
Peraturan
perundang-undangan yang terbatas sebenarnya tidak menjadi hambatan besar
bagi hakim Peradilan Agama dalam memutus sengketa ekonomi syariah yang
diajukan kepada mereka, mengingat hakim muslim sejak dahulu selalu
memutus perkara berdasarkan syariat Islam sebagai ius constitum bagi
dunia Islam. Dengan praktek hukum ekonomi syariah paling tidak sebagian
besar fiqh mu'amalat telah menjadi hukum Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar